Rintikan hujan
masih membasahi bumi Jemonistan, bau tanah makin menusuk indra penciuman
manusia. Sambil merebah asa di iringi temaram langit kelam di ujung angkasa,
seorang diri berjalan menepaki arah jalan sepi nan basah di batas bumi
Jemonistan yang asri lagi indah, seindah hati yang ingin ia temui. Hanyasanya
gerimis kecil itulah sedikit banyak menghambat lembaran lencana yang ia rangkai
dalam memori ingatannya yang sebatas jua. Padahal, sebentar lagi dunia akan di
datangi malam tak berbintang, hanya karena kuasa cuaca yang tidak mendukung.
Hati seorang diri itu kian di selimuti atmosfer kecemasan yang begitu tebal,
dan hampir-hampir ia di tikam oleh asa dan harap saat rasa tersebut ia bendung.
“Mudah-mudahan
bisa berjalan sesuai rencana..”. Batinnya.
Seorang itu
adalah Akmal Farid, sesosok manusia polos yang seakan terlihat seperti anak
kecil karena babyface yang ia miliki,
begitu polos tak ayalnya seperti aktor cilik di film HOME ALONE yang biasanya
di putar pada saat menjelang tahun baru. Sambil melantunkan sya’ir lagu anak
band yang lagi naik daun di kalangan para pelajar, ia masih berjalan menembus
rintikan anak hujan di petang tak berirama.
Harus ku
akui…
Sulit
cari penggantimu…
Yang
menyayangku…
…………………….
Sepanjang jalan
bumi Jemonistan, Akmal masih melantunkan sya’ir lagu itu, berharap apakah yang
ia ucapkan akan segera terjadi? Entahlah? Memang, sudah lama Akmal memendam
rasa itu tepatnya pada saat ia pertama kali bertemu dengan sosok gadis belia
bak bidadari di bumi Jemonistan pula. Selayaknya seorang psikolog ulung yang
langsung bisa menebak karakter seseorang dengan tatapan matanya, Akmal langsung
bisa menebak isi hati yang ia temui, dan itu telah terbukti. Sosok gadis belia
itu adalah Yuniar Angelia, gadis berkelahiran kota bersemboyankan BERSINAR itu
benar-benar telah membuat hati Akmal terjatuh untuk kesekian kalinya. Akmal
mengakui bahwa ia sedang merasakan Dejavu
kala melihat sosok Yuniar.Akmal teringat akan seseorang yang telah menghiasi
jiwanya beberapa tahun silam. Baginya, Yuniar adalah metamorfosis dari Latifah
Putri Ambarsari, cinta pertamanya dan telah ia putusi karena alasan tertentu.
Semenjak
pertemuan pertamanya dengan Yuniar, Akmal dapat merasakan getaran cinta yang
pernah ia rasakan dahulu ketika jiwanya berjumpa dengan Latifah Putri
Ambarsari. Pertemuan itu terjadi kala senja datang menghadang di Masjid Raya
Jemonistan. Seusai sholat maghrib, Akmal bersegera mengambil sebuah novel yang
baru saja ia beli, TEMBANG ILALANG. Isi dari novel itu adalah perjuangan
mendapatkan cinta dan kemerdekaan dalam bumi konflik, Indonesia pada masa-masa pra freedom tahun 1930-an. Dan Akmal
selalu membayangkan sesosok Asroel (dalam novel itu) yang memperjuangkan jiwa
raganya demi mendapatkan kemerdekaan dan cinta dari seorang Roekmini, dan Akmal
sendiri ingin sekali menggoreskan sejarah cintanya walau berada di bumi
konflik.
“Kayaknya seru
juga bukunya !”.Ucap seorang gadis belia yang tiba-tiba menghampiri Akmal.
Akmal belum
berani bertatapan langsung dengan pemilik suara itu. Suaranya begitu merdu,
seketika mengiang-ngiang di dalam ingatannya. Diangkatnya wajahnya, kemudian
mata mereka saling bertemu. Terdiam sesaat, petang terus membayang meniggalkan
berkas-berkas cahaya pada sepasang hati tersebut.
“Oohh…….ya…….!,Tembang
Ilalang judulnya.”,Akmal jadi salah tingkah. Tidak seperti biasanya Akmal
menjadi seperti orang yang terkena stroke ketika berhadapan dengan lain jenis.
Tapi sesosok perempuan ini sangatlah berbeda dengan yang lain.
Gadis belia itu
duduk menghampirinya dan berkata, “Kak…boleh kenalan gak…?”. Gadis itu
mengulurkan tangannya kepada Akmal tanda untuk berjabat tangan.
Naluri lelaki
Akmal memuncak, ia merasakan sangat nervous
kala gadis itu mengajaknya berkenalan ditambah lagi ingin berjabat tangan
dengannya. Akmal jadi salah tingkah untuk kesekian kalinya, benar-benar tak
seperti biasanya. Hanyasanya yang membedakan adalah sosok gadis bak bidadari
yang datang menghampirinya dan begitu manis bila dipandang. Akmal yang sedari
tadi merasa nervous mulai melawan
rasa itu.
“Jangan panggil
aku kakak, panggil saja aku Akmal, itu sudah cukup.”
“Ohh….Mas Akmal
ya…..?”
“Mas…? Masmu
apa…?”
“Iya, masak
kakak gak boleh mas gak boleh, lha terus gimana ?”
“Iya gak apa-apa
dech,,adek namanya siapa ?”
“Adek,,?” ucap
gadis itu bercanda.
“Iya,
adek….adekku.”
“Heh…..panggil
saja Yuniar, Yuniar Angelia.”
“Nama yang
cantik, secantkik yang punya.”Canda Akmal.
“Hemb…….”
Seketika, pertemuan pertama itu menimbulkan berbagai
rasa dalam kalbu, beribu asa langsung tertanam dalam sanubari. Akmal yang
biasanya tertutup, tiba-tiba saja menjadi pribadi yang periang semenjak
kejadian itu. Mulai dari saat itulah Akmal bisa merasakan guncangan rasa yang
hampir saja merobohkan dinding hatinya. Fall in love…..
@@@@@@
Hujan masih
mengguyuri bumi Jemonistan. Makin lama
hujan tak lagi berkutik, tak turun dan mulai reda. Akmal memandang ke
depan ke arah Masjid Raya Jemonistan, tempat pertama kali ia bertemu dengan
bidadari di hatinya. Dan di tempat itu pula ia akan mengungkapkan isi hati yang
selama ini ia pendam. Tepatnya hari ini adalah hari yang begitu spesial
baginya. Yaitu hari ulang tahun Yuniar bertepatan dengan tanggal 8 Juni. Bagi
Akmal, Yuniar adalah sosok yang begitu ia kagumi, dari pribadinya yang begitu
sederhana, nggemesi, imut serta tak
mau merepotkan orang lain dalam segala hal dan keadaan. Maka dari sinilah rasa
cemas Akmal memuncak Everest. Akankah Yuniar menerima hadiah darinya?.Atau akan
disia-siakan begitu saja?. Hanya hati Yuniar-lah yang dapat menjawab semua itu.
Karena ini merupakan bentuk kerepotan diri baginya. Tapi Akmal membawa hadiah
berupa kalung hati dan ingin menyerahkan kepada Yuniar dengan ikhlas tanpa
mengharapkan sesuatu apapun darinya. Sungguh ini adalah bentuk pengorbanan
cinta Sang Akmal kepada Yuniar. Dan rasa cemas itu selalu saja datang
menghalangi disetiap langkah Akmal.
Lantunan adzan
maghrib saling sahut-menyahut menyambut petang yang mendung serta malam yang
kelam, mulai dari ujung Pulestine sampai ujung Jemonistan yang sebelumya
menghampiri jalur Kemelunia. Memang, ketiga negeri itulah yang bisa meramaikan
suasana hati yang dirundung pilu. Dengan adanya sungai sepanjang ketiga negeri
itu dan tak tahu dimanakah akan bermuara, bisa deperhatikan pemandangan yang
elok tak ayalnya seperti surga dunia. Dan bagi Akmal Jemonistan adalah surga
cinta tersendiri dan telah banyak hati yang bersemi di bumi ini, termasuk
Akmal.
Kini, rasa cemas
Akmal kian membuncak naik. Sedari tadi ia belum melihat sosok yuniar, ia hanya
melihat Maharani, teman sekaligus tetangga dekat Yuniar. Rani, begitu ia
memanggilnya.
“Yuniar gak ikut
jama’ah, Ran.?” Tanya Akmal khawatir.
“Paling sebentar
lagi dating..” Jawab Rani yang sudah bias menebak perasaan Akmal.
“Jangan terlalu
khawatir, kak. Aku sudah mengingatkannya kalau hari ini adalah special day buatnya..”
lanjut Rani
“Jadi Rani sudah
tahu kalau aku akan memberikan suprize pada Yuniar ?”
“Kan, Yuniar
yang ngomong sama aku, tapi dia nggak mau ngerepoti kakak, dia paling nggak
suka akan hal itu. ”
“Tapi aku ini
iklas…”
“Yah, kalau
begitu, kakak langsung saja bilang sama orangnya.. itu orangnya datang..”
Lanjut Rani.
Deg,,,jantung
Akmal berdegup cepat, rasa cemas, khawatir dan gugup menjadi satu dalam jiwa
sang Akmal pada saat itu. Seakan lidahnya terasa kelu, mulutnya serasa dikunci
mati, tubuhnya seperti tak bergerak lagi, darahnya mengalir desar tak
terkendali. Ini adalah rasa yang pernah ia temui pada awal bertemu, dan
sekarang terulang kembali. Mata Akmal melirik takut ke arah Yuniar, takut akan
pandangan mereka saling bertemu. Ia seakan tak ingin membuat Yuniar kecewa
malam ini, karena ia akan meluapkan seluruh isi hatinya. Tapi, karena mendung
yang menganggu inilah membuat hati Akmal menjadi H2C. Akmal melihat Yuniar tak
begitu bersemangat, cemberut dan sangat murung. Padahal, Akmal akan memberikan
kejutan pada Yuniar di hari ulang tahunnya itu.
Akmal yang
sedari tadi bingung bagaimana cara agar bisa langsung mengungkapkan rasanya
pada Yuniar. Akmal kembali memanggil Rani, “Ran, bolehkah kamu membantuku..?”
“Aku siap demi
kebaikan kakak dan Yuniar.” Jawab Rani tegas.
“Serius ya, Jadi
aku harap kamu bisa menemani Yuniar selama aku berbicara dengannya.”
“Maksudnya jadi obat
nyamuk, gitu.”
“Bisa dikatakan
begitu, dan yang terpenting adalah kamu harus bisa memahamiku.”
“Aku akan
berusaha.” Jawabnya singkat.
Sembari
meninggalkan Akmal, Rani berjalan mendekati Yuniar. Akmal bertanya-tanya dalam
hati tentang apa yang dirasakan oleh Yuniar pada saat ini, begitu murung, tak
seperti biasanya. Sosok Yuniar yang dikenal Akmal adalah pribadi yang terbuka,
selalu riang, murah senyum dan selalu membiarkan orang lain tuk bercanda
dengannya. Walaupun sedikit keras kepala, tapi justru dari sinilah yang membuat
Akmal begitu kagum padanya.”Jarang-jarang sekali aku menemui gadis seperti
dirimu, Yuniar.” Ucap Akmal suatu waktu. Tapi, untuk kali ini Yuniar tampak
berbeda, sangat berbeda tak seperti sewajarnya. Kemudian Akmal berjalan menuju
Yuniar yang di sampingnya telah ada Rani,
“Yuniar,
bolehkah aku bicara sesuatu denganmu.?”
“Aku nggak punya
banyak waktu, dan kalau bisa secepat mungkin.” Ucap Yuniar sinis.
“koq somse
sekali sich..? ada yang salah denganku..?”
“Lagi males
aja..”
“Baiklah kalau
begitu, lebih baik habis sholat isya saja, tunggu aku di perempatan jalan.”
“Yeah….” Jawab
Yuniar malas.
Hati Akmal mulai tak tenang,seakan ia merasa ada
sesuatu yang tidak beres dengan Yuniar. Ditambah lagi gerimis kecil mulai
berjatuhan dari langit mendung tak berbintang. Akmal hanya bisa berharap agar
semua dapat berjalan sesuai rencana. I don’t know….
@@@@@@
Sholat isya
telah usai, para jamaah satu per satu mulai meninggalkan masjid. Perasaan Akmal
mulai tak karuan, pikirannya galau tak tentu arah, saat ini ia hanya bisa
memfokuskan diri untuk sedikit bisa menenangkan pikirannnya yang telah di
hantui rasa cemas yang menikam. Dengan segera, Akmal mengambil jaket almameternya
yang dia simpan di teras masjid kemudian berjalan meninggalkan bias-bias cahaya
masjid menuju tempat yang telah di sepakati, perempatan jalan negri
Jemonistan. Akmal kian di rundung rasa cemas, hanya diri sendiri yang bisa
memahami dan tak seorang pun dapat berdusta. Kini, di depan pandangannya telah
nampak dua sosok gadis yang salah satunya akan ia temui. Dan sekarang janji
telah ditepati, tinggal menunggu kepastian hati, apakah akan tersakiti atau
menyakiti, entahlah? Yang mengetahui hanyalah sepasang hati yang akan
menuangkan isinya pada hari dimana salah satu hati akan di temani harapan serta
merta rasa cemas yang tak kunjung henti.
Kedua gadis itu
masih tertunduk, padahal Akmal sudah mulai mendekati dan akan mengungkapkan.
“Yuniar, sudah waktunya ! Aku ingin bicara sebentar .” Akmal memulai
pembicaraan.
Rani kemudian
menjauh, mundur teratur dan berjalan meninggalkan Akmal & Yuniar, kira-kira
5 meter dari mereka. Tak hanya Akmal, Rani pun dapat merasaka kekhawatiran
seperti yang dirasakan olehnya. Sedikit banyak. Rani setidaknya dapat membantu
Akmal dalam hal ini, lagi pula Rani
lebih senior daripada Yuniar.
Yuniar
belum berani bertatap muka dengan Akmal. Rasa itupun makin membuat Akmal cemas
ditambah lagi gemuruh angkasa raya setia menemani di setiap degupan jantung
sang Akmal. Kepolosannyapun keluar , “Yuniar ,,,,?” Sahut Akmal.
Yuniar
belum menjawab. Terdiam.
Sekali
lagi Akmal melantunkan nama itu dengan penuh harap. “Yuniar………dek Yuniar….?!?!”
Rayunya.
“Lebay
dech…………!?!?.” Jawab Yuniar gusar.
Lautan
hati Akmal menderukan gelombang asa, tapi mungkin ini tahap awal bagi Akmal.
“Oke,
kalau begitu,,, Ini adalah hari ultahmu kan…..?”
“Iya….aku
juga tahu….” Balas Yuniar acuh.
“Yun,
coba lihat aku sebentar, aku hanya ingin memberikanmu hadiah….”
Belum
selesai Akmal bicara, Yuniar langsung menyela kalimat Akmal, “Aku tak kan
menerima sesuatuupun darimu, Mas Akmal !”
“Tapi
aku ini ikhlas, gak berharap apa-apa darimu….”
“Aku
gak pantas menerima itu…….” Gusarnya,.
“Baiklah,
ini bukan hadiah, tapi ini kenangan dariku untukmu Yuniar !!”
“Tidak…..tak
akan kuterima…”
Akmal
menarik nafas panjang, kemudian berjalan mendekati Rani, sambil berbisik Akmal
berkata, “Ada apa dengan Yuniar ?”. “Ini karena salahku kak……….!” Jawab Rani
polos.
“Jangan
menyalahkan diri,,,,pinjamkan aku handphonemu….!!” Akmal mengulurkan
tangan.
Tak
lama, barang elektronik itu sudah berada di genggaman Akmal. Akmal berjalan
mendekati Yuniar dengan langkah cemas. Tiba-tiba……..
Harus ku akui………
Sulit cari penggantimu……..
Yang menyayangku………
Dan takkan pernah ada lagi…..
Yang seperti dirimu…..
Yang sanggup…..mengertikanku……
Akmal
duduk di samping Yuniar, sementara lagu itu terus diputar. Yuniar sama sekali
tidak memperhatikan Akmal.
“Yuniar,
kamu mengerti kan…….?”
“Aku
minta lagunya diberhentikan………!” Yuniar gusar.
Bukan
sosok Akmal yang cepat putus asa, ia kemudian mengganti lagu itu dengan lagu
dari ST-12 Setiaku.
Sambil
mengikuti kata-kata dalam nada lagu itu, Akmal begitu berharap, agar supaya
Yuniar dapat merasakan seperti apa yang dirasa olehnya. Akmal menekan tombol
stop pada handphone tadi,
kemudian melanjutkan,
“Yuniar….kamu
percaya gak, kalau aku………..kalau aku………………kalau aku……..”
“Kalau
aku, apa ?” Yuniar mulai tak tenang.
Akmal
paling suka moment-moment seperti ini, membuat orang lain tak sabar jika
berbicara dengannya. Dan ini adalah untuk kesekian kalinya membuat Yuniar
menjadi tak sabaran lagi.
“Kamu
percaya gak, kalau aku…………..senang sama kamu…..” Akmal mulai serius.
“Semenjak
pada awal pertemuan kita dahulu, aku langsung bisa merasakan gelombang cinta
tepat setelah melihatmu……itu bahasa puisinya !!!!” lanjutnya setengah bercanda.
Seakan
Yuniar tidak menghiraukan perkataan Akmal barusan. Tapi Akmal yakin, ini baru
tahap kedua. “Yuniar……” sahutnya penuh harap.
“Yuniar……Yuniar……
dijawab donkk……..!!
“Dalem…….”
Akmal
hanya bisa tersenyum sinis melihat tingkah Yuniar yang sedikit berbeda. Jauh-
jauh hari Akmal mempersiapkan semua itu, tiba-tiba saja bagai tak berada di
atas bumi lagi. Tapi sekali lagi, Akmal adalah sosok yang teguh, tak mudah
putus asa. Dalam hatinya, ia melantunkan sya’ir lagu…..
Aku masih menunggumu, bicara….
Ku nanti jawaban, dihatimu..
Dalam gelap ini……dalam diam ini….
Masih MENUNGGU……
……………………
Makin
lama, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan saru persatu, sementara Akmal terus
berharap agar Yuniar dapat menerima hadiah kalung hati darinya, tak hanya itu,
ia juga ingin mendengar balasan rasa yang telah
ia lontarkan pada Yuniar. Kado yang sekarang masih berada di tangan
Akmal itu seakan hampa tak bernilai sama sekali. “Atau memang ada yang salah
denganku….?” Batin Akmal menyalahkan diri.
Yuniar
kemudian beranjak berdiri entah bosan dengan tingkah Akmal atau karena cuaca
yang tak mendukung. “Mbak Rani, ayo pulang…!” ajak Yuniar. Rani belum beranjak
berdiri, hanya terdiam, seakan Rani mendukung Akmal pada saat itu. Yang
beranjak malah Akmal seraya berkata, “Mau kemana Yuniar…….aku belum rampung ngomongnya
!” keluh Akmal.
“Salah
siapa tidak dari tadi,” balas Yuniar.
Akmal
mengambil nafas panjang lalu berucap, “Hanya satu permintaan dariku, Yuniar…….!
Please……..terimalah kado ini, bukan sebagai hadiah, tapi sebagai
kenang-kenangan pertama dan terakhir untukmu seorang !” ucap Akmal penuh harap.
“Sekali-kali
tidak, mas ! Aku paling gak suka ngerepotin orang lain……jujur mas…!”
“Iya,
tapi…………”
Tiba-tiba
saja, gerimis telah berubah ganas menjadi hujan yang begitu deras. Sangat deras
hingga menghambat pendengaran, karena benturan keras partikel hujan dengan
atap-atap rumah.
“Mbak
Rani……ayo…!!!!” ajak Yuniar sambil berlari kea rah selatan perempatan jalan.
Akmal
meraih tangan Rani, seraya berkata, “Tolong, kumohon berikan kepada Yuniar.”
Dengan
sedikit memaksa Akmal memberikan kado itu kepada Rani. Respon Ranipun sudah
bisa terbaca oleh Akmal, ia tidak berani menerima kado itu dan kemudian akan
diberikan kepada Yuniar. “Sorry banget kak…..aku gak bisa.”
“sudahlah………bawa
dulu saja…” pinta Akmal.
Hujan
kian deras, sementara harapan Akmal belum kesampaian. Padahal Yuniar dan Rani
telah berlari meninggalkan Akmal seorang diri. Namun Akmal sempat bingung apa
yang akan dia lakukan sekarang. Akmal memandang ke depan memperhatikan sosok
Yuniar yang berlari menembus hujan deras tanpa ampun, begitu juga dengan Rani.
Tiba-tiba terdetik dalam hati Akmal untuk merelakan raganya demi mendapatkan
balasan . “Mereka basah kuyub, sedangkan aku tidak, baiklah kalau begitu…….aku
akan ikut hujan-hujanan.” Batin Akmal.
Sebagai
sosok laki-laki yabg bertanggung jawab, sedikit banyak Akmal harus mengorbankan
jasadnya, dan ia akan melakukan itu semua di depan mata Yuniar. Berharap agar
Yuniar dapat menerima hadiah darinya, tak lebih dari itu. “Andai Yuniar dapat
merasakan seperti apa yang aku rasakan.” Keluh Akmal dalam hati.
Akmal
mengikuti langkah Yuniar dari belakang. Entah itu diketahui Yuniar ataukah
tidak, Akmal hanya bisa mengira-ngira. Sebagian badan Akmal sudah dibasahi oleh
air hujan yang kian deras, begitu deras. Sehingga hampir-hampir indera
pendengaran tak lagi dapat merespons kata-kata lawan bicara. Akmal terderan,
tiba-tiba saja Yuniar bernaung di teras seseorang, dan Akmal hanya bisa
bertanya pada Rani, “Rumah siapa Ran…..?”
“Ini
rumah grandparents nya Yuniar.” Jawab Rani.
Akmal
menganggukkan kepala tanda mengerti. Lampu remang-remang rumah itu makin
membuat hati Akmal terasa ngilu. Yuniar pun tak kunjung jua merelakan
hatinya untuk menerima hadiah itu. Padahal, Akmal benar-benar berharap bahwa
itu adalah sebuah bukti kecintaannya pada Yuniar. Nekadnya, ketika Rani dan
Yuniar berlindung diri dari derasnya sang hujan, Akmal justru berdiri terpaku
membiarkan partikel-partikel hujan membasahinya. Dengan sedikit khawatir Rani
berkata, “Sudahlah Yuniar ….kasihan masmu…..lebih baik kamu terima saja…..”
“Wegahhh…….”
Jawab Yuniar acuh.
Akmal
terus saja berdiri di bawah naungan langit berhujan tiada henti, dan sangat
ingin melihat sosok Yuniar yang menerima hadiah itu.
“Kamu
gak kasihan sama mas Akmal, kalau dia masuk angin gimana….?” Lanjut Rani
membela.
Hati Yuniar belum seutuhnya luluh, hanya sebagian
kecl saja bisa merasa kasihan. Begitulah Yuniar, pribadi yang keras kepala.
Hanya orang-orang tertentulah yang bisa meluluhkan hati Yuniar, dan Akmal belum
termasuk dari golongan itu. Tapi Akmal yakin, suatu saant nanti ia dapat
membuat hati Yuniar luluh. Bahkan dapat membuat hati Yuniar merasa membutuhkan
dirinya. Cahaya temaran lampu teras rumah itu dihiasi oleh curahan hujan tiada
henti makin membuat Akmal berkeluh kesah. Kalau bukanlah untuk penantian cinta,
Akmal tidak akan bertindak senekad itu. Tapi hati Yuniar mulai tak menentu,
bingung. “Mas….jangan di situ terus, aku kasihan melihatmu seperti itu.” Yuniar
mulai angkat bicara.
Akmal
hanya bisa menggelengkan kepala tanda tak mau memenuhi. Makin lama Akmal mulai
merasa partikel-partikel hujan mulai membasahi pakaian yang dikenakannya.
Sedikit demi sedikit mulai menusuk tulang tengkoraknya. Hawa dingin mulai
merasuk ke dalam badan. Akmal masih nekad, ia melepas jaket yang dikenakannya
lalu melemparkan sekenanya ke tanah. Rani mungkin makin prihatin melihat
tingkah Akmal, tapi tiada dayalah ia, untuk membuat Yuniar mengerti. Masih
saja, Akmal yang orangnya lunak tiba-tiba menjadi keras kepala pada saat itu,
sama seperti pribadi Yuniar. Mungkin kecocokan itulah yang sedikit banyak
menghambat harapannya. “ Apa kamu tetap saja tidak mau menerima hadiah itu ?”
ucap Akmal sambil melipat kedua tangannya di dada.
Yuniar
berlari ke arah jalanan yang sudah dibanjiri oleh air hujan. Akmal sempat
bingung dengan hal itu. Tapi ini adalah waktu yang tepat untuk menyerahkan kado
yang telah dibasahi air hujan. Setelah sebelumnya kado yang ia berikan melalui
Rani gagal diterima. Dengan sangat, Akmal ingin memberikan sendiri kado itu.
Kotak kado telah dibuang oleh Akmal tinggalah isi dari kotak itu dan telah ada
dalam genggaman Akmal. Kemudian Akmal mendekat Yuniar, sementara Rani hanya
bisa menyaksikan mereka berdua. Akmal meraih tangan kanan Yuniar, sambil
membuka telapak tangannya, Akmal berharap, “Tolong , terimalah ini. Sekali lagi
ini adalah kenangan pertama dan terakhir dariku, Yuniar !”
Itulah
sosok Akmal, tiada kata berhenti untuk menunggu jawaban dari Yuniar. Takkan
hilang harapan Akmal dihapus hujan.
Sangatlah tepat dengan kegigihan Akmal, sungguh hujan takkan mampu menghapus
harapannya. Akmal memutar pikirannya, ia mencari cara lain untuk meluluhkan
hati keras Yuniar. “Dasar anak yang keras kepala….!” Batin Akmal sambil
tersenyum kecil melihat olah Yuniar.
Akmal
yakin seyakinnya bahwasanya Yuniar hanya saja melakukan adegan hanya membuar
jiwa Akmal menjadi ciut. Tapi sekali lagi, bukannlah jiwa Akmal yang mudah
putus asa. Jiwa akmal laksana batu karang yang takkan goyah diterpa ombak
lautan, hati Akmal takkan pernah jatuh dihantam badai sekalipun. Karena ia
yakin harapannyapun akan dipenuhi oleh Yuniar semata. Akmal memutar haluan, ia
mengambil jalan lain untuk mengelabuhi hati Yuniar. “Baiklah Yuniar, kalalu
kamu benar-benar tidak mau menerima kalung ini, terserah !, aku minta maaf
kalau sedikit memaksa, sekali lagi maaf !” ucap Akmal sambil meninggalkan
Yuniar dan Rani.
Akmal
berjalan menembus genangan hujan di antara kedua sisi jalan jalur
Jemonistan. Ia melangkah menembus
curahan hujan yang kian deras. Ditambah lagi, rasa cemas yang ia pendam kini
benar-benar berubah menjadi rasa KECEWA. Kecewa akan harapannuya yang tidak dapat dibalas oleh Yuniar. Setelah
jauh melangkah, tiba-tiba pendengaran Akmal menangkap derap langkah dari arah
belakangnya. “Mas…..! sahut Yuniar.
Akmal
sekonyong-konyong tidak mendengarkan panggilan Yuniar. Itu bukan karena ia acuh
tak acuh, itu adalah actingnya yang menjadi jurus terakhir untuk
meluluhkan hati Yuniar.
“Mas…….!”
Sahut Yuniar kembali.
Akmal
masih enggan mendengarkan kata Yuniar. Ia terus saja melaju tanpa merasa ber
dosa meniggalkan sejuta harapan yang sempat kandas. Untuk kesekian kalinya
Yuniar menyahut, “Mas Akmal !”
Langsung
saja Akmal menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badannya. “ Ada apa ?”
tanyanya. Yuniar tertunduk, apakah karena malu ataukah merasa bersalah dengan tingkah lakunya yang sedari
tadi begitu keras kepala. Akmal sudah bisa mulai menebak perasaan Yuniar hanya
dengan menatap di sudut matanya. Ia langsung menyimpulkan dan sesegera mungkin
beraksi. Akmal melangkah mendekati Yuniar, diraihnya tangan Yuniar, “Terimalah
!” pinta Akmal.
Seperti
magic, tiba-tiba saja melapangkan telapak tangannya dan sekarang kalung
hati itu sudah berada dalam genggamannya. Kemudian Akmal melanjutkan,
“Yuniar….MEMANG LUMPUR-LUMPUR CINTA YANG SELAMA INI AKU LEMPARKAN PADAMU TIDAK
DAPAT MEROBOHKAN TEMBOK HATIMU…….TAPI, SETIDAKNYA, LUMPUR-LUMPUR CINTA YANG
TELAH AKU LEMPARKAN DAPAT MEMBEKAS PADA TEMBOK HATIMU, DAN SUATU SAAT NANTI
ENGKAU AKAN MERASAKANNYA…”
Semua
terdiam, membiarkan suara rintikan hujan bersatu dengan kata- kata yang yang
baru saja dilontarkan oleh Akmal. Rani tertegun, Yuniarpun demikian. Akmal tersenyum dalam hati, ia ternyata telah
berhasil meluluhkan hati Yuniar. Tak hanya itu, hadiah itupun telah berpindah
pada Yuniar.
“Mas…..!”
tak hentinya, Yuniar melantunkan kata itu. Tapi Akmal mulai berkata lagi, “
rasakan seperti apa yang kurasakan.”
Akmal melakukan turn around, lalu
berjalan meninggalkan Yuniar, Rani dan bumi Jemonistan. Menempuh perjalanan
cinta yang penuh onak dan duri telah dilalui Akmal tanpa putus asa. Melangkah
menembus hujan yang tak kunjung reda. Hujan setia menemani harapan Akmal sampai
detik terakhir episode perjalanan pada malam kelam tak berbintang.
@@@@@@@@
Keesokan
harinya, Akmal merasakan kedua bola matanya begitu perih, hampir-hampir ia tak
bisa membuka kelopak matanya. Mungkin ini adalah pengaruh air hujan yang masuk
ke celah sudut matanya semalam. Tapi itu hanya bertahan selama beberapa jam saja setelah sebelumnya Akmal
membasuh wajahnya dengan air hangat. Setelah kembali tengan ia mengambil
laptopnya dan langsung membuka inbox
emailnya. Ternyata, delapan pesan telah
masuk ke dalam surat elektroniknya itu. Dengan seksama Akmal membuka satu
persatu pesan tersebut. Sambil terseyum sinis ia membaca seluruh isi pesan itu:
Mas…maafkan aku….!
Membuat dirimu kecewa……
Ini semua salahku….
.karena diriku yang keras kepala……
Mas nggak masuk angin?......
Sambil
meringis Akmal menggerakkan jemarinya di atas keyboard laptopnya dan
mulai menekan tombol enter untuk membalas semua pesan yang masuk. Akmal
mengingat kambali kejadian semalam, ingin rasanya peristiwa itu terekam dan
didokumentasikan untuk kehidupannya. Akmal tersenyum memuji dirinya sendiri,
“Actingmu keren juga Akmal…!”
Honey Mount, 11
Juni 2012 M
Created by: Akbarnichi NamJie (Akmal Farid)
*Diangkat dari kisah nyata dengan sedikit perubahan.